Story of Song - Bukan Salahku dan Juga Bukan Salahmu - Monyoku

Update

Kamis, 14 Juli 2016

Story of Song - Bukan Salahku dan Juga Bukan Salahmu

Story of Song - Bukan Salahku dan Juga Bukan Salahmu

Mataku mulai melirik kanan dan kiri melihat kondisi sekitar dengan posisi duduk di depan pintu yang terbuka membuat angin berebut masuk seolah-olah memaksa aku untuk turun. Setitik keringat di kening mengalir bersamaan dengan kaki kanan yang bergerak naik turun yang semakin lama gerakannya dipercepat sampai meledak kesabaranku hingga menimbulkan keputusan “bang turun depan saja lah, sudah dekat kok” suara ku yang sopan namun sedikit mengeluh memecah kegelisahan abang paruh baya yang dari tadi memainkan jari telunjuk kiri di stir mobil. “Oke”jawabnya singkat namun pasti, aku pun lalu menjulurkan tangan dengan memberikan uang Rp2000.

*** 

Kemacetan memang sudah menjadi rutinitas kota metropolitan dari hari ke hari tidak berkurang dan bisa jadi bertambah. Hal ini sudah menjadi tugas pemerintah untuk mencari solusi terbaik mengatasi kemacetan. Tetapi tidak hanya pemerintah seluruh lapisan masyarakat yang tinggal, hidup, bekerja, dan hanya sekedar tamasya pun harus sadar untuk membantu semampunya. Dari mulai orang-orang bersandangan emas sampai alakadarnya dapat memberikan pemikiran, materil (pajak), dan hanya bisa menaati tata tertib di jalan raya sudah baik untuk yang tidak memiliki hal lain. Bagiku selain kemacetan kota ini memiliki keunikan bahwa orang-orang yang ada disini berasal dari berbagai macam suku dan memiliki bahasa daerahnya masih-masing. “Bang ucok beli permen” gadis kecil berwajah bulat yang masih menggunakan sepeda berwarna merah jambu berhenti tepat di depan warung Bang Ucok untuk membeli permen. “Sebentar ya dek” Jawab Bang Ucok yang masih memisahkan buah kelapa dengan cangkangnya untuk di parut. “Tet, Butet!!” belum selesai memarut kelapa Bang Ucok memanggil istrinya. Butet yang masih memakaikan popok untuk anaknya yang sudah berumur 18 bulan bergegas menyelesaikannya. “Permisi Bang Ucok” dibumbui senyuman aku mulai melewati Bang Ucok yang warungnya bersebelahan dengan kontrakan yang aku tinggali. “Eh iya, mas Arya baru pulang ?” Bang Ucok menjawab dengan masih mengurusi kelapa parut. “Iya bang, seperti biasanya macet jadi sedikit sore pulangnya” Sembari membuka kunci rumah yang sudah di gengam aku pun masuk kamar yang cukup nyaman dengan 2 kamar tidur dan 1 ruang tamu 1 kamar mandi tanpa dapur.
Sepanjang aku melihat langit membentang warna hitam pekat layaknya bintang-bintang sudah punah karena tersaingi oleh cahaya dari gedung-gedung pencakar langit yang terangnya bisa untuk memberi enegri ke desa-desa terpencil yang masih terperangkap kegelapan. Aku hanya mengintip dari balik jendela kamar. Jam sudah menunjukan pukul 21.15 WIB dan Ibu juga belum pulang. Selang beberapa menit aku mendapatkan pesan sikat dari ibu “Dek Ar ibu pulang terlambat masih ada berita yang harus ibu kejar informasi validnya, Jangan lupa makan malam ya. Sudah sholat isya belum ?”. “Iya bu, Ar sudah sholat. ibu juga jangan lupa makan. Hati-hati di jalan bu.” balasku. Ibuku seorang jurnalis televisi swasta di Jakarta, sehingga pulang larut malam sudah biasa. Namun hal yang terkadang membuat bahan pembicaraan orang lain atau tetangga-tetangga yaitu ibuku menggunakan hijab. Dengan berbagai komentar sering kudengar secara tidak langsung dan itu tidak membuat diriku malu tetapi sebaliknya aku mengagumi ibuku.

***
Mentari sabtu pagi tampak tak bermalas-malasan untuk menyinari kota ini. Bertamburan burung-burung pipit coklat dilangit mengisyaratkan bahwa aku harus memulai aktivitas hari ini dengan penuh antusias karena kegiatan ekstra kulikuler yang aku ambil mengadakan pertemuan perdana. “Dek sarapan dulu, ibu pukul 07.00 WIB harus sudah ditempat wawancara. Sangunya ibu kasih di meja.” Setelah tugas dapur sudah selesai ibu langsung berganti seragam kebanggan dominan warna hitam dan cukup tebal kainnya, membuat kesan ibu seorang wanita tangguh bak kaktus di tengah gurun tetap dapat hidup dengan kokoh. Lagi-lagi bukan Ibu ku kalau belum ditambah hijab panjang sampai menutupi hingga bagian perut, terkadang aku yang anaknya saja sering bertanya-tanya apakah ibu tidak risih dengan pekerjaan yang melekatnya dengan pakaian seperti itu ? tetapi pertanyaan tidak penting itu sirna begitu saja jikalau melihat ibu nyaman menggunakanya. Tiba-tiba tangan lembut ibu merebut telephone genggam yang masih belum aku selesaikan pesan untuk temanku dan di letaknya di samping sarapanku sembari berkata "Jangan lupa memilih prioritas, ibadah, dunia, nafsu. Sudah, dimakan dulu nanti kalau sudah dingin tidak enak. Ibu pergi dulu. Assalamu'alaikum" Pesan ibu selalu seperti itu saat aku masih asik dengan dunia ku, semua hal yang aku lakukan harus di prioritaskan menurut kepentinganya jika berhubungan dengan Tuhan di dahulukan dibanding urusan dunia walapun dunia dengan nafsu dapat berhubungan tetapi maksud ibuku nafsu ada di dalam diri manusia masing-masing semacam ego. Moment yang aku rindukan saat ibu dapat tugas luar kota adalah saat berpamitan, aku mencium tangan ibu dan setelahnya ibu mencium keningku hal yang selalu aku rindukan. "Waalaikum'salam Wr Wb" jawaban salamku menandakan goong untuk cepat menyelesaikan sarapan ini dan berangkat ke sekolah.



!!! Di tunggu kelanjutan ceritanya ya :D
Nb: Cerita ini diadaptasi dari lirik lagu berjudul “Bukan Salahku dan Juga Bukan Salahmu yang dipopulerkan oleh Tommy J

Lirik Lagu Bukan Salahmu dan Juga Bukan Salahku yang di populerkan oleh Tommy J Pisa

Mungkinkah ombak kan berhenti
Sementara badai pun mengayun datang
Hempasan demi hempasan pun menerpa pantai
Membawa sejuta duka dalam dirimu

Mengapa bunga-bunga berguguran
Berbagai aroma kini pun menghilang
Kapankah ia kan mekar dan mekar kembali
Kadang hidup ini hanya tumpuan dosa

Reff:
Oh bukan salahmu dan bukan juga salahku
Mengapa takdir ini menimpa kita
Oh bukan salahku dan bukan juga salahmu
Mengapa samudera cinta membawa duka
Mengapa samudera cinta membawa duka

Kesucian kini telah hilang
Terbawa arus cinta kita berdua
Tuhan kumohon padamu ampuni dosaku
Agar kutemukan damainya hati ini

Oh bukan salahmu dan bukan juga salahku
Mengapa takdir ini menimpa kita
Oh bukan salahku dan bukan juga salahmu
Mengapa samudera cinta membawa duka
Mengapa samudera cinta membawa duka

Oh bukan salahmu dan bukan juga salahku
Mengapa takdir ini menimpa kita
Oh bukan salahku dan bukan juga salahmu
Mengapa samudera cinta membawa duka
Mengapa samudera cinta membawa duka

(sumber: Anita Hermawati, lirik lagu nostalgia lengkap )

14 komentar:

  1. Mau sedikit memberikan koreksi ya bos, saya kira lebih baik untuk memisahkan paragraf antara percakapan dan narasi.
    overall, ceritanya cukup bagus, pemilihan kata cukup menarik, dan enak dibaca. Mantap!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasig Azi, selanjutnya saya coba sarannya. Saya sendiri terfikir untuk memisahkannya tetapi masih ragu karena formatnya yang belum saya pahami.

      Hapus
  2. Memang bukan salah ku dan salah mu... tp salahnya, wkwkwk

    BalasHapus