Review Film Bumi Manusia, Kisah Cinta di Zaman Kolonialisme - Monyoku

Update

Selasa, 13 Agustus 2019

Review Film Bumi Manusia, Kisah Cinta di Zaman Kolonialisme

Tiket nonton Film Bumi Manusia, (dok. pribadi)

Review Film Bumi Manusia

Seluruh penonton di dalam bioskop berdiri mengikuti intruksi suara dirijen. Tidak nampak di mana seorang dirijen berada namun, layar bioskop berwarna merah putih menggetarkan hati saya. “Film apa yang akan saya tonton kali ini,” Gumam saya dalam hati. Teringat akan kisah perjuangan untuk memperoleh kebebasan mengibarkan bendera Merah Putih di bawah pemerintah kolonialisme? Menggunakan darah dan nyawa sebagai taruhan.

“Annelies Mellema.” Ujar wanita dengan paras cantik yang mempersilakan Minke memberi salam.


“Minke.” Jawab Minke singkat.


“Minke saja?” Ucap Annelis dengan wajah innocent.


“Aku pribumi” Logat khas Jawa Minke terdengar jelas.

Sorot mata dari Robert Mellema adalah simbol awal Hegemoni yang Anda akan saksikan sepajang Film Bumi Manusia. Percakapan pertama Minke dengan Annelis bisa Anda saksikan pada trailer Film Bumi Manusia di Youtube yang dipublikasikan 4 Juli 2019. Film yang berdurasi sekitar 3 jam membuat saya bersiap untuk tidak melewatkan setiap adegan.

Film Bumi Manusia diangkat dari novel karya Pramodeya Ananta Toer dengan judul yang sama. Buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1980 oleh penerbit Hasta Mitra serta buku pertama dari Tetralogi yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Mungkin Anda juga pernah mendengar bahwa karya Bumi Manusia ditulis oleh Pramodeya Ananta Toer ketika mendekam di Pulau Buru. Oleh sebab itu, setiap detik dari Film Bumi Manusia jangan sampai terlewatkan. Setiap kutipan dari novel Bumi Manusia yang diucapkan menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh saya.

Flim Bumi Manusia yang saya tonton bersama KAGAMA di Sleman City Hall pada Sabtu, 10 Agustus 2019 mengkisahkan perjuangan cinta di atas tanah kolonial. Berlatar tempat di Surabaya, membuat saya terbayang saat berjalan-jalan dan melewati Stasiun Wonokromo. Saya sangat kagum bagaimana sebuah latar tempat yang menjadi lokasi syuting salah satunya di Studio Alam Gamplong, Sleman. Sekitar 2,5 hekatre yang berdiri bangunan-bangunan untuk syuting menjadi terlihat satu wilayah besar di dalam sebuah film. Anda akan menebak-nebak latar tempat yang ada sebenarnya di mana saja.

“Kowe iki bocah terpelajar, siswa HBS. Kenapa tinggal serumah sama Nyai? Dasar bocah Edan!” Seru Bapak Minke sembari mencambuk Minke dengan pecut.

Di saat adegan yang begitu serius, entah mengapa saya merasa selalu ada kejutan yang diberikan. Sehingga selama pemutaran Film Bumi Manusia sekitar 3 jam, membuat Anda merasakan pedihnya mencintai pada zaman kolonial. Selain itu, gaya kekinian skenario yang ditulis oleh Salman Aristo untuk Film Bumi Manusia dapat diterima kaum milenial dan generasi z.

“Kasiahan perempuan-perempuan Belanda itu, Anne. Malu mereka atas kecantikanmu.” Ucap Minke kepada Annelis.

Gaya yang dapat diterima generasi millenial dan z dengan menyesuaikan komunikasi pada zaman ini. Ini menjadi trend yang akan digemari anak-anak mudah untuk menyampaikan pesan nilai moral dengan selingan dialog gombal.

Sutradara Hanung Bramantyo berani memunculkan adegan dewasa sekian detik yang bisa Anda nikmati hehe. Bagi para calon penonton Anda harus berumur 17+ untuk bisa menonton Film Bumi Manusia. Lalu, film ini sukses membuat saya, yang takut darah sedikit merem melek karena adegan konflik antar pribumi dengan pemerintah kolonial. Namun, bagi Anda penikmat film horror atau aksi dengan banyaknya adegan berdara, ini bukan apa-apa.

Saya pribadi sangat menikmati Film Bumi Manusia, bagi Anda yang belum pernah membaca novelnya akan sangat gemas melihat konflik-konflik yang terjadi. Ini adalah kejadian saat dibioskop, mulai dari ucapan saat melangsungkan ikatan suci ditimpali se-isi bioskop yang gemas. Hingga diakhir film seruluhnya bertepuk tangan dengan keras. Itu membuat saya merasa lega, Saya menunggu karya berikutnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar